Judul Buku : Tahlilan Bid'ah Hasanah
Berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah
Penulis : Muhammad Ma'ruf Khozin
Penerbit : Muara Progresif & LBM NU
Surabaya
Cetakan : I,
Juli 2013
Tebal : xviii + 190 hlm. 12 x 17.5 cm
Harga :
Rp 27.500
Diskon : Tiap pembelian 5 Eks/pcs Diskon
17%, Pembelian 10 Eks/pcs Diskon 25%. (Contact SMS/Telp 085655249960)
Tahlilan dalam masyarakat
NU (Nahdlatul Ulama) sering diadakan untuk selamatan 7 (tujuh) hari orang yang
meninggal dunia dengan harapan agar pahalanya bisa sampai kepadanya atau dalam
sebuah perkumpulan-perkumpulan pada momen-momen tertentu. Namun, dalam hal ini,
banyak kalangan yang menganggap bahwa tahlilan adalah bid'ah yang sesat dan
keluar dari ajaran Islam yang asli karena dianggap tidak pernah dilaksanakan
pada masa Nabi. Pandangan yang seperti itu jelas adalah pandangan yang sempit
dalam memahami agama.
Kontroversi seputar
tahlilan ini menjadi suatu yang selalu relevan untuk dibicarakan, sebab orang
yang menganggap tahlilan sebagai aktivitas musryik dikarenakan menyerupai
tradisi agama lain selain Islam. Padahal penolakan akan tahlilan yang telah
mentradisi di masyarakat ini sebenarnya masalah klasik dan para ulama terdahulu
telah memberi jawaban yang sarat dengan refrensi mulai dari ayat Al-Quran,
Hadis hingga dalil fiqh.
Kelompok yang anti
tahlilan kerap menuduh tahlil sebagai bid'ah karena sebagai warisan dan tradisi
agama pra-Islam di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek tahlil
hukumnya haram dilakukan karena menyerupai (tasyabbuh) dengan tradisi
agama lain. Tuduhan ini dilakukan sebagaimana ketika mereka mengharamkan
perayaan Maulid Nabi SAW. karena dianggap menyerupai perayaan kelahiran dalam
agama lain, yaitu perayaan natal (Kristen). (hlm. 14)
Harus dipahami bahwa permasalahan ini termasuk dalam wilayah i'tiqadi.
Dengan demikian, harus ditegaskan bahwa tidak ada keyakinan sama sekali di
dalam hati para pelaku tahlilan bahwa apa yang mereka lakukan pada hari pertama
kematian, hari kedua, ketiga dan seterusnya merupakan sebuah kewajiban, juga
tidak ada keyakinan bahwa berdo’a kepada si mayit pada hari pertama, kedua,
ketiga dan seterusnya lebih afdal dibandingkan dengan hari-hari yang lain.
Tahlilan yang substansinya adalah berdoa untuk si mayit agar mendapatkan
pengampunan dari Allah boleh dilakukan kapan saja, atau bahkan boleh tidak
dilakukan, meskipun biasanya kegiatan tahlilan ini dilaksanakan pada hari
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.
Tasyabbuh boleh dialamatkan
kepada para pelaku tahlilan ketika meyakini bahwa tindakannya itu wajib
dilaksanakan pada hari-hari dimaksud dan juga meyakini bahwa hari-hari dimaksud
lebih afdal dibandingkan hari lainnya. Jadi, penentuan hari dan seterusnya
tidak lebih daripada sebuah tradisi yang boleh dilakukan dan juga boleh
ditinggalkan, berbeda dengan apa yang diyakini oleh umat Hindu. Tradisi ini
sama persis dengan tradisi memperingati hari-hari besar dalam Islam (Nuzulul
Qur'an, halal bi halal, maulid Nabi, isra'-mi'raj dan lain sebagainya) yang
boleh dilakukan kapan saja, tidak terbatas pada tanggal-tanggal tertentu.
Peringatan hari besar yang biasanya diisi taushiah dan zikir hanyalah merupakan
tradisi yang boleh dikerjakan dan juga boleh ditinggalkan.
Buku “Tahlilan Bid'ah
Hasanah, Berlandaskan al-Qur'an dan Sunnah” yang ditulis Muhammad Ma'ruf
Khozin ini adalah bentuk jawaban atas kontroversi tahlilan yang dianggap sesat
oleh beberapa golongan di luar kalangan NU. Dalil-dalil yang digunakan dalam
buku ini merujuk pada Al-Quran dan Hadis yang keautentikannya bisa
dipertanggungjawabkan. Analisis-analisis yang digunakan semakin memperkuat
anggapan bahwa tahlilan bukanlah sesuatu yang menyesatkan. Seperti dikatakan
oleh KH. Muhyiddin Abdusshomad dalam pengantarnya, “Buku ini semakin melengkapi
dan memperkaya khazanah tentang keabsahan tahlilan dalam perspektif agama.”
Buku “Tahlilan Bid'ah Hasanah” mengupas tuntas dalil-dalil tahlilan
berdasarkan Al-Quran dan Hadis, sebagai jawaban untuk meneguhkan bahwa tahlilan
bukanlah bid'ah yang sesat seperti yang sering dituduhkan. (hal. v)
Untuk itu, buku ini
penting dibaca warga Nahdliyin supaya tidak terprovokasi oleh kelompok-kelompok
yang tidak pernah merasa capek dan bosan menyuarakan bahwa tahlilan adalah
tradisi sesat. Buku ini juga penting dibaca di luar warga Nahdliyin, terlebih
kelompok-kelompok yang selama ini menganggap sesat, supaya mengerti bahwa
tradisi tahlilan ini tidak berangkat dari ruang kosong belaka akan tetapi
tradisi ini berjalan di atas dalil-dalil Al-Quran dan Hadis yang kebenarannya
tidak perlu diragukan lagi.
Abdul Rahman Wahid
pernah nyantri di
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1
Ganjaran Gondanglegi Malang
0 komentar:
Posting Komentar